IPS Kelas 8: Kolonialisme Asing di Indonesia

 Kerja Paksa (Kerja Rodi)

Kerja rodi di Indonesia dipelopori Gubernur Jenderal Herman Williem Daendels. Daendels datang sebagai pejabat resmi Republik Bataaf

Republik Bataaf sendiri adalah pemerintah bentukan Prancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte setelah berhasil menguasai Belanda. Raja Belanda, Willem V, kabur  ke Inggris. Adik Napoleon, Louis Napoleon, menjadi Raja Republik Bataaf.




Daendels memerintah di Nusantara pada tahun 1808-1811. Tugas utama Daendels adalah mempertahankan Jawa agar tidak dikuasai Inggris. Untuk mempertahankan Jawa dari serangan Inggris, Daendels melakukan langkah-langkah:

  1.     Membangun benteng-benteng pertahanan     baru
  2.     Membangun pangkalan angkatan laut di Anyer, Merak, Surabaya dan Ujungkulon.
  3.     Meningkatkan jumlah tentara, dengan mengambil orang-orang pribumi
  4.     Membangun jalan raya dari Anyer (Provinsi Banten) sampai Panarukan (Ujung     Jawa Timur) sepanjang kurang lebih 1.100 km.

Daendels juga mengerahkan rakyat untuk kerja rodi. Misalnya, dalam proses pembangunan jalan raya Anyer hingga Panarukan pada 1809. Kerja rodi ini banyak memakan korban jiwa mencapai 12.000 jiwa.

Mei tahun 1811, Daendels dipanggil oleh Louis Napoleon untuk kembali ke Republik Bataaf.

Posisi Daendels digantikan oleh Jan Willem Janssens yang sebelumnya menjabat sebagai Gubernur Jendral di Tanjung Harapan (Afrika Selatan) pada tahun 1802 - 1806. Pada tahun 1806, Janssens terusir dari Tanjung Harapan karena Tanjung Harapan Jatuh ke tangan Inggris.



Sewa Tanah (Land Rent)

Janssens berusaha memperbaiki keadaan di Hindia Belanda, namun Inggris sebagai musuh dari Belanda pada saat itu telah menguasai beberapa wilayah di Nusantara.

Disisi lain, Inggris melalui Gubernur Jenderal Lord Minto yang berkuasa di India, memerintahkan Thomas Stamford Raffles untuk menguasai pulau Jawa.



Raffles berhasil memaksa Janssens lari ke daerah Tuntang, Jawa Tengah. Janssen akhirnya menyerah secara resmi ke pihak Inggris ditandai dengan adanya Kapitulasi Tuntang pada tanggal 18 September 1811.

Isi Kapitulasi Tuntang

  1.     Pulau Jawa dan sekitarnya yang dikuasai Belanda diserahkan kepada Inggris
  2.     Semua tentara Belanda menjadi tawanan Inggris
  3.     Orang-orang Belanda dapat dipekerjakan dalam pemerintahan Inggris
Lord Minto menyerahkan Pemerintahan Inggris di Jawa kepada Letnan Gubernur Sir Thomas Stanford Raffles. Di Jawa, Raffles berkedudukan di Buitenzorg (Bogor).

Selama pemerintahannya Raffles memberlakukan Sistem Sewa Tanah. Sistem Sewa Tanah atau Land rent adalah sistem ekonomi dimana rakyat tidak harus melakukan penyerahan wajib dari hasil pertanian/perkebunannya, namun diganti dengan membayar sewa atas tanah yang digunakan.


Raffles berpendapat bahwa Negera sebagai pemilik seluruh tanah dan rakyat wajib membayar sewa kepada Negara. Pemberlakuan sistem sewa tanah kemudian meletakkan dasar bagi perkembangan sistem perekonomian uang.

Raffles sebenarnya berupaya memperbaiki tanah jajahan, termasuk ingin meningkatkan kemakmuran rakyat. Tetapi hal ini tidak berhasil karena mental dan sarana perdagangan di Jawa tidak semaju di India. Namun, Raffles telah memberi sumbangsih Ilmu Pengetahuan di Indonesia, diantaranya:


1.   Penulisan buku berjudul History of Java.

2.   Memberi bantuan kepada John Crawfurd (Residen Yogyakarta) untuk mengadakan penelitian yang  menghasilkan buku berjudul History of the East Indian Archipelago  

3.   Penemuan bunga bangkai yang akhirnya diberi nama Rafflesia Arnoldi.

4.   Merintis Kebun Raya Bogor.


Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel)


Pada tahun 1814, Prancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte kalah melawan raja–raja di Eropa. Untuk memulihkan kembali keadaan Eropa, maka diadakan Kongres Wina 1814.

Salah satu poin dari Kongres Wina adalah Inggris dipastikan menguasai Afrika Selatan, Tobago, Ceylon dan sejumlah negara jajahan di Afrika dan Asia. Daerah jajahan lain, seperti Hindia Timur (Indonesia) dikembalikan ke penguasa sebelumnya, yakni Belanda.

Kongres Wina ditindaklanjuti Inggris dan Belanda dengan menggelar Kovensi London tahun 1814. Perjanjian Belanda dan Inggris ini menandai berakhirnya kekuasaan Inggris di Indonesia


Isi Konvensi London


1.   Belanda menerima kembali jajahan yang diserahkan kepada inggris dalam Kapitulasi Tuntang.

2.   Inggris memperoleh Tanjung Harapan dan Srilangka dari Inggris. Konsekuensinya, Inggris meninggalkan Pulau Jawa.




Dalam masa penjajahan Belanda, Bangsa Indonesia kembali merasakan derita penjajahan. Pada masa kekuasaan Gubernur Jenderal Johannes Van den Bosch, tahun 1980, Sistem Tanam Paksa diberlakukan. Kebijakan ini diambil karena Belanda hampir bangkrut setelah terlibat Perang Diponegoro.

Sistem Tanam Paksa mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) atau 1/5 lahannya untuk ditanami komoditas ekspor, khususnya kopi, tebu, teh, dan tarum (nila). Hasil panen diserahkan kepada pemerintah Belanda. 




Mereka yang tak punya di sawah, diminta bekerja menggarap lahan milik Pemerintah Hindia Belanda. Lama masa kerja mencapai 1/5 tahun atau 66 hari. Akibatnya, muncul masalah wabah penyakit dan kelaparan dimana – mana sehingga angka kematian meningkat tajam. Kebijakan Tanam Paksa ini lebih kejam daripada sistem monopoli VOC.

Sistem tanam paksa telah memajukan perekonomian dan perdagangan Belanda. Selama tanam paksa diberlakukan antara 1830-1877, rakyat pribumi telah memperkaya Belanda hingga 823 juta gulden atau setara dengan Rp 6,8 triliun berdasarkan kurs Desember 2019. Sebagai ganjaran, Gubernur Jenderal van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh Raja Belanda pada 25 Desember 1839.




Praktek Tanam Paksa ini mendapat kecaman dari orang Belanda sendiri. Kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah Belanda telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa

Salah satu kritik paling keras datang dari penulis Eduard Douwes Dekker. Douwes Dekker mengkritiknya lewat roman tentang sistem tanam paksa di Lebak, Banten. Agar selamat dari persekusi Belanda, Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli.

Karyanya itu diterbitkan pada 1860 dengan judul Max Havelaar, of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij (Max Havelaar, atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Kritik dari Douwes Dekker dan warga Belanda lainnya baru didengar Pemerintah Hindia Belanda pada 1870.







Komentar