Surat Cinta

Sudah berulangkali saya menulis “ surat cinta”. Dari sekian banyak “ surat cinta” itu ada yang bertepuk sebelah tangan, ada juga yang gayung bersambut. Ah, itu tak penting, karena surat cinta ini berbeda dari surat cinta umumnya. Surat cinta ini saya tulis untuk menyampaikan unek-unek yang berpijak pada hati nurani saya. Saya ingat pesan guru saya, "Sampaikanlah yang benar sekalipun pahit"!

Saya ingat, pertamakali saya menulis surat cinta kepada sebuah majalah, isinya tentang pandangan saya tentang "Defisini Terorisme". Tak jelas tertuju pada siapa surat ini, tapi saya hanya ingin menyampaikan pandangan saya tentang terorisme. Intinya berusaha memperbaiki definis terorisme yang semakin kabur dan cenderung menyudutkan. Bahkan seorang presiden pun, kala itu, Megawati Soekarno Putri, pernah saya surati lewat media menyoal kebijakannya.

Seingat saya, beberapa lembaga pemerintah, jasa layanan publik, media juga tak luput saya kirimi surat cinta. Diantaranya, Mahkamah Agung RI berkaitan dengan proses hukum Abu Bakar Baa’syir yang saya amati tidak mengedepankan azas praduga tak bersalah, dan telah terjadi kesewenang-wenangan. Meski ini tidak ditanggapi langsung, tapi saya lega telah mengungkapkan unek-unek saya.

Kemudian pemerintah berkenaan dengan Peraturan Pemerintah (PP) 37/2006, menyinggung tunjangan anggota DPRD yang menurut saya tidak peka terhadap kondisi masyarakat. Ini tidak ditangapi, namun banyak surat sejenis masuk yang memberi tekananan kuat, dan berujung pada revisi, dan tunjangan yang telah diterima akhirnya dikembalikan.

Surat cinta juga pernah saya alamatkan kepada Deplu RI. Saya tulis surat ini karena menganggap adanya ketidakadilan dalam penyelesaikan krisis nuklir Iran. Saya mengkritik sikap yang mendukung resolusi PBB (1747) tentang sangsi atas Iran. Di kemudian hari, menjadi satu-satunya anggota DK-PBB yang abstain dan mempunyai pandangan sendiri dalam voting resolusi sangsi tambahan atas Iran (1803)

Bukan hanya lembaga pemerintah, surat cinta juga pernah saya kirimkan ke sebuah operator seluler besar negeri ini. Isinya menyangkut keluhan tentang adanya perlakuan semena-mena terhadap pelanggan. Pihak operator menghubungi berulangkali, menawarkan solusi terbaik, bersilaturahim dan memberikan cindera mata, seraya menegaskan pentingnya persahabatan kami.

Bahkan media yang menjadi salah satu tempat dimana saya biasa menulis surat cinta tak luput juga saya kirimi surat cinta. Saya cemas dengan pemberitaan tak berimbang media itu terkait insiden kekerasan di monas yang cenderung menyudutkan satu pihak, dan mengabaikan etika jurnalisme sehingga terjadi kesalahan pemberitaan karena tak hati-hati memperoleh sumber berita. Saya kira surat cinta itu tidak bakal dimuat karena menyingung korannya. Namun, mereka justru memuatnya.

Masih banyak pihak lainnya yang saya kirimi surat cinta, termasuk lembaga-lembaga penting negeri ini, termasuk DPR dan KPK. Diantaranya ada yang membalas dengan penjelasan yang baik ada pula yang mengacuhkannya. Saya tidak pernah berpikir akan masuk penjara karena cinta. Semestinya pihak yang dikirimkan cinta itu justru berterimakasih karena ada yang memperhatikan. Namun, saya selalu menyiapkan diri dengan banyak bukti-bukti bila suatu saat terjadi masalah. Artinya, kita juga harus mengedepankan kebenaran, dan tidak mengada-ngada, melebih-lebihkan, apalagi berbohong. Jadi janganlah kita takut menulis surat cinta bila melihat kesalahan atau ketidakbaikan sepanjang niatnya ikhlas dan selalu berpijak pada nurani...

hamdi.harun15@gmail.com

Komentar