Kasus penyerangan atas Lembaga Pemasyarakatan
(Lapas) Cebongan, Yogyakarta, kembali menyeret Kesatuan Elit TNI Angkatan
Darat, Komando Pasukan Khusus (Kopassus), yang ditengarai melakukan pelanggaran
Hak Azasi Manusia (HAM). Berdasarkan investigasi tim bentukan TNI-AD, diketahui
bahwa motif 11 anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan, Kertasura, Solo,
melakukan aksi tersebut adalah membela kehormatan kesatuan dan semangat Jiwa
Korsa yang dipicu terbunuhnya Serka Heru Santoso di Hugo's Cafe, Yogyakarta.
Sementara Komnas HAM, dan beberapa LSM, diantaranya Kontras menuding bahwa aksi
tersebut terencana dan sebagai bentuk nyata pelanggaran HAM.
Seperti diketahui, Kopassus yang dibentuk
pada tahun 1952 ini memang seringkali dikaitkan dengan isu pelanggaran HAM.
Masalah ini pula yang membuat pasukan yang akrab dikenal dengan nama Korps
Baret Merah --warna merah pada baret kopassus yang tak lazim di dunia korps
pasukan khusus dunia terinspirasi warna baret pasukan elit belanda, Korps
Speciale Tropen (KST), yang diandalkan Belanda dalam agresinya ke
Indonesia—perna masuk daftar black list
Amerika Serikat dan Australia. Pelanggaran HAM masa lalu, seperti operasi
militer di Aceh, Timor Leste, Papua dan penculikan aktifis di tahun 1998
membuat Amerika Serikat dan Australia menghentikan kerjasama militer dengan
Kopassus.
Namun kita juga tidak adil bila langsung mencap
pasukan elite yang terlahir dari rahim prajurit Siliwangi --kelahirannya
berawal saat Kolonel Alex Kawiliarang (Panglima Teritorial Siliwangi) membentuk
pasukan khusus dengan nama Kesatuan Komando Tentara Territorium III/
Siliwangi-- sebagai korps tentara pelanggar HAM. Perlu diketahui, prajurit itu
terikat kedisiplinan dalam sistem komando yang terkandang menafikan benar atau
salah dalam melaksanakan tugas. Jadi sebenarnya, tergantung pemimpin atau rezim
yang menggunakannya, apakah digunakan untuk kebaikan atau sebaliknya. Kopassus
sadar betul bahwa pengetahuan HAM diperlukan para prajurit. Karenanya, beberapa
tahun terakhir, Kopassus juga terus mereformasi diri dan berupaya keluar dari
stigma negatif tentang pelanggaran HAM dengan mengedukasi prajuritnya akan
pengetahuan HAM.
Korps Baret Merah punya sumbangsih besar bagi
republk ini. Pemadaman pemberontakan pada dasawarsa 50-an yang menambah berat
republik saat menghadapi agresi militer Belanda, operasi di belantara
Kalimantan saat konfrontasi dengan Malaysia, penumpasan Gestapu tahun 1965,
operasi Seroja Timor-timur, pembebasan sandera dalam pembajakan pesawat Garuda
di Don Muang, Bangkok, Thailand tahun 1981 dan operasi pembebasan sandera
peneliti asing di Mapenduma, Papua tahun 1995, dan terakhir operasi pembebasan
sandera di perairan Somalia tahun 2012, adalah sederet penugasan yang dilakukan
prajurit Kopassus dalam menjalankan operasi menegakan kedaulatan NKRI dan
melindungi seluruh anak bangsa. Sudah ratusan prajurit gugur dalam sederet
tugas operasi sejak pertamakali Kopassus dibentuk.
Pasukan elit yang masuk 3 besar pasukan elit
terbaik dunia versi Discovery Channel Military 2008-- menimbang dari kemampuan
individu prajurit tanpa dukungan teknologi militer--juga kenyang pengalaman dalam
operasi kemanusiaan non-perang. Operasi evakuasi warga saat Gunung Merapi
meletus di tahun 2010 dan operasi evakuasi korban jatuhnya pesawat Sukhoi di
lereng Gunung Salak, Bogor tahun 2012 dan sederet operasi penanggulangan
bencana, menjadi bukti bahwa Kopassus adalah tentara yang mempunyai nurani
kemanusiaan. Naluri kemanusiaan Kopassus ini jugalah yang mendorong seorang
bintara Kopassus, Sertu Nicolas Sandy berupaya menggagalkan aksi perampokan dan
pemberkosaan di angkutan umum. Naluri kemanusiaan prajurit yang menempuh
pendidikan paling berat dibanding kesatuan lainnya inilah yang perlu terus
diasah dan dipelihara. Ini tak akan bisa terlaksana tanpa dukungan kita semua
yang terus mendorong agar Kopassus terus mereformasi diri untuk menjadi tentara
pejuang kemanusiaan. Selamat ulang tahun ke-61 Korps Berat Merah...!
Komentar
Posting Komentar